Kalau baca judul post-annya, mungkin bisa saja ada yang mengira aku mau cerita tentang kehidupan waria di Taman Lawang bernama Tommy, yang mencari nafkah di sana demi sesuap nasi rames, padang, langi dan jenis nasi lainnya. Tommy yang aku maksud di sini hanyalah seekor kucing betina hitam. Lho betina, tapi kenapa namanya Tommy? Semua berawal dari kejadian 3 tahun yang lalu. Saat itu menjelang malam hari yang dingin dengan kondisi hujan turun walaupun tidak terlalu deras. Terdengar suara anak kucing yang mengeong secara konsisten. Sudah pasti ia tengah berada dalam kedinginan dan kelaparan. Bisa jadi karena terpisah dari orangtuanya.
Dari dulu, aku memang tidak suka dengan kucing, yang konon kata orang-orang bulunya berdampak buruk bagi kesehatan reproduksi cewek. Memegang seujung bulunya saja aku enggan, apalagi ada niat buat adopsi layaknya keluarga sendiri. Namun, ada tetanggaku yang memungutnya karena kasihan. Kalau tidak, mungkin ia sudah mati karena kelaparan. Meskipun tidak terlalu dipelihara secara mewah dan berlebihan bak kucing Persia, setidaknya ia masih jauh lebih beruntung bisa tinggal di dalam rumah kardus dan mendapat makanan setiap harinya. Bahkan, terkadang ia mendapatkan makanan kucing mahal yang biasa dijual di pet shop dan supermarket besar.
Hari demi hari dijalani dan Tommy pun terlihat cepat besar secara tanpa terasa. Kalau dilihat lama-lama, untuk ukuran kucing kampung jalanan, Tommy manis juga dengan bulu hitamnya yang halus. Mungkin karena faktor makanan mahal tadi. Semua orang menjulukinya kucing kampung cantik. Saat itu ia belum mempunyai nama panggilan apa pun. Aku pun tidak kerajinan turut ambil andil dalam pemberian nama. Kebetulan tetanggaku yang berinisiatif memberinya makan pertama kali bernama Tommy. Secara tidak sengaja, ada seorang dari tetanggaku yang lain menyebutnya dengan nama “Tommy”. Janggal memang untuk nama seekor betina, tapi seru juga karena bisa sekalian buat lucu-lucuan. Namun, kehadiran Tommy kerap kali dinilai tidak tahu diri, ia selalu saja mengeong terus-menerus untuk meminta makanan ketika lapar. Tidak seperti kucing kampung pada umumnya yang bisa stand alone, tegar dalam menjalani kehidupan jalanan yang keras dengan cara mencari makanannya sendiri. Meskipun harus mengorek-ngorek tong sampah. Tapi, Tommy tidak bisa seperti itu! Ia kadang juga suka iseng masuk ke dalam rumahku, naik ke loteng dan menuju ke atap rumah (genteng). Konyolnya, ia sama sekali tidak bisa kembali turun dengan melompat sendiri seperti kucing lainnya, yang lincah bagaikan Spiderman merayap di antara gedung-gedung bertingkat. Harus ada orang yang membantunya untuk turun. Yang paling tragis adalah, waktu itu kami pernah sengaja memperlihatkan tikus yang baru ditangkap dan ukurannya cukup besar. Ia malah ketakutan setengah mati seperti melihat setan! Mana ada sejarahnya kucing ketakutan melihat tikus? Itu hanya ada di film karton “Doraemon”. Dari situ aku belajar bahwa pola asuh yang salah bisa membuat kita tidak sadar akan potensi yang kita miliki. Tommy bisa menjadi kucing yang mandiri, tidak amatir dalam melompat dari atas genteng dan ahli dalam menangkap tikus jika tidak dimanjakan sejak kecil. Bisa jadi sejak dini kita sudah hidup dengan berbagai kemudahan dan fasilitas yang memanjakan kita, sehingga kita berpikir, buat apa repot-repot? Kita jadi enggan untuk keluar dari comfort zone (zona kenyamanan) dan mencoba tantangan baru. Padahal, semua tantangan yang ada bisa jadi peluang kita buat menemukan potensi yang masih terpendam. Tetanggaku memutuskan untuk membuang Tommy dekat pasar karena sudah tidak mau mengurusnya lagi. Dikarenakan pergaulan bebas para hewan yang menyebabkan Tommy pernah hamil dua kali. Tahu sendiri kan kalau kucing melahirkan pasti anaknya seabrek. Kasihan memang, tapi kalau didiamkan terus bisa jadi peternakan kucing di rumah tetanggaku. Sampai detik ini, kami tidak pernah lagi mendengar Tommy mengeong dan melihat segala jenis ketakutannya. Baru terasa kehilangan sosoknya yang manis setelah ia dibuang karena lewat hidupnya aku belajar sesuatu. Mungkin saja di luar sana ia terlatih hidup mandiri ketika melihat kehidupan jalanan yang keras dan menjadi Tommy yang berbeda. Atau mati di tengah jalan karena tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Lewat itu, aku semakin mengerti yang namanya keputusan hidup. Pertama, orangtua kita bisa saja salah mendidik kita dengan cara memanjakan kita. Tapi, kita harus tahu bahwa bukan benar atau salah, yang penting respon! Bukan waktunya lagi menyalahkan mereka dan orang di sekeliling kita, namun harus punya respon yang benar untuk mau berubah karena kitalah yang memegang remote, untuk mengendalikan diri sendiri. Kedua, keputusan untuk memilih keluar dari comfort zone yang selama ini membuat kita tidak bertumbuh dalam hal apa pun. Misalnya, dengan hidup lebih mandiri tanpa mengandalkan fasilitas dan mencoba tantangan baru yang bisa menggali potensi diri. Ketiga, keputusan kita pula untuk menentukan akhir hidup kita akan seperti apa nantinya. Kita bisa jadi seperti Tommy yang mungkin waktu itu sudah mati sia-sia di jalanan dan sampai akhir nafasnya tidak pernah sadar, bahwa dirinya adalah seekor kucing dan memiliki potensi seekor kucing. Atau, hidup yang luar biasa karena kita tahu dan mengembangkan seluruh potensi kita dengan baik, sehingga bisa memberkati dan menginspirasi orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar