Saya mempunyai seorang kakak rohani yang sedang melakukan kebiasaan makan oatmeal (makanan dari biji gandum) di malam hari. Kebiasaan yang sangat baik karena belum tentu orang lain sanggup melakukan itu secara konsisten. Saya saja sudah lama tidak makan oatmeal. Sepertinya sudah setahun yang lalu saya melakukan hal itu. Itu pun juga terpaksa karena dalam sedang dalam kondisi sakit dan tidak bisa makan makanan yang lain. Terus terang kegiatan itu bukanlah hal yang menyenangkan buat saya karena menyingkirkan saya dari kenyamanan. Padahal, waktu masih kecil saya lumayan konsisten dalam mengonsumsinya. Walaupun pada awalnya itu semua karena paksaan dari Mama saya yang pada ujungnya mendatangkan kebaikan. Namun, seiringnya berjalannya waktu ada begitu banyak makanan lain yang menggugah hati saya dan memudarkan kecintaan saya pada oatmeal. Saya pun semakin bebas dalam menentukan apa saya yang bisa masuk ke dalam perut saya.
Saya jadi teringat dengan DVD tentang makanan yang pernah saya tonton (saya lupa dengan judulnya). Di situ si pembicara bercerita bahwa ada seorang pemain baseball yang gemar mengonsumsi oatmeal seumur hidupnya. Maka Tuhan pun memberikannya umur yang panjang. Bahkan, ketika di surga pun ia ditempatkan di lapangan rumput hijau yang luas dan bermain baseball di sana. Tidak ada yang menolak akhir kehidupan seperti itu, termasuk saya.
Mendengar kebiasaan kakak rohani saya itu, ada sedikit terlintas dalam benak saya untuk bisa memulainya. Jadi, pagi hari kemarin pikiran saya langsung tertuju kepada setoples oatmeal di dapur. Tanpa berpikir panjang, saya pun langsung menuangkan empat sendok makan ke dalam mangkuk dan menyeduhnya dengan air panas untuk diaduk. Namun, hasilnya tidak sesuai dengan harapan saya. Biji-biji gandum yang terdapat di dalamnya tetap mengeras dan hanya melunak sedikit. Padahal, saya sudah mengaduknya secara konstan. Dimakan pun rasanya begitu hambar! Akhirnya semangkuk makanan bergizi itu masuk ke habitat lubang wastafel dan sisanya ke tong sampah. Saya jadi bingung sendiri dengan apa yang telah saya perbuat. Padahal, sepertinya itu sudah sesuai aturan memasak oatmeal beberapa tahun lalu! Di masa lalu saya berhasil membuatnya untuk saya sendiri, bahkan untuk anggota keluarga di rumah saya. Saya pun berusaha melupakan kegagalan tidak penting sejenis ini dan mengalihkannya ke yang lain. Namun, beberapa saat mata saya seperti dicelikkan. Ternyata saya sudah salah melakukan instruksi. Pikiran saya langsung tertuju kepada aktivitas yang saya lakukan beberapa tahun lalu. Ketika itu, saya memasak oatmeal dengan mengaduk-aduknya di dalam panci yang terletak rapi di atas kompor listrik yang menyala. Kalau dipikir-pikir, betapa bodohnya saya yang menyamakan cara memasak oatmeal dengan cara menghidangkan cereal yang hanya tinggal diseduh air panas.
Otak saya langsung klik dengan mie instan. Memasak mie instan hampir mirip prosesnya dengan memasak oatmeal tadi. Namun, pada faktanya saya tidak pernah lupa bagaimana menjadikan mie instan yang tadinya masih terbungkus rapi itu menjadi semangkuk mie yang lezat. Dan bisa membedakan dengan jelas antara mie instan dengan berbagai macam mie gelas dalam cara membuatnya. Sebuah perkara kecil, namun menyadarkan saya tentang melakukan kebiasaan yang sesuai dengan kebenaran. Ketika kita tidak lagi mempraktekkannya, maka kita tidak akan terbiasa melakukan hal itu. Malahan, akan cenderung melupakannya walaupun kebenaran itu seolah-olah terlihat begitu mudah untuk dilakukan.
Kebanyakan dari kita pasti menganggap bahwa lebih mudah menghabiskan semangkuk mie instan dibandingkan dengan oatmeal. Buktinya, saya pernah kehilangan waktu berjam-jam hanya untuk menghabiskan oatmeal saking tidak antusias dengan rasanya itu. Melakukan kebiasaan sesuai kebenaran itu sangat tidak mudah dan butuh proses yang panjang agar bisa melakukannya dengan baik. Coba bandingkanlah saat kita melakukan dosa dan kebiasaan buruk lainnya! Begitu antusias dan sangat menikmati. Secara tidak sadar, kita sudah menjadikannya sebagai gaya hidup. Saya tertemplak karena Tuhan mengilustrasikan hal yang berharga ini kepada saya.
Sudah sering sekali kita mendengar tentang dampak negatif dari mengonsumsi mie instan dalam jumlah besar, tetapi kita tetap saja larut dalam kebiasaan itu. Sudah sering pula kita didongengkan dengan manfaat oatmeal yang luar biasa bagi kesehatan kita, tetapi kita tetap enggan untuk menyentuhnya. Dalam hati kecil, ada keinginan untuk menyambut oatmeal sebagai gaya hidup, tetapi kita cenderung menundanya dan menganggap bahwa kita masih begitu muda dan masih ingin bersenang-senang dengan mie instan dan makanan berlemak lainnya. Sama seperti ketika Tuhan memanggil kita untuk bertobat dan hidup lurus sesuai kebenaran, namun selalu saja ada alasan dan penundaan yang kita buat dan menganggap waktu ini masih panjang. Padahal, tidak pernah ada yang tahu kapan Tuhan memanggil kita pulang.
Ada keinginan saya untuk kembali rutin mengonsumsi oatmeal walaupun saya tidak suka dengan rasanya. Itu semua karena dulu saya pernah mengonsumsinya secara rutin dan saya tahu akan manfaat dan kebaikan yang diberikannya. Dan saya tidak akan nyaman dengan gaya hidup tidak sehat jika pada awalnya gaya hidup saya adalah sehat. Ini mengingatkan saya pada hati nurani yang murni. Waktu kita meninggalkan Tuhan dan mencoba kompromi dengan dosa, maka hati nurani tidak akan nyaman dengan hal itu dan berusaha membawa kita untuk kembali ke jalan yang lurus. Namun, ketika kita mengabaikan hati nurani yang berteriak-teriak itu, hati nurani pun lama-kelamaan akan tumpul dan tidak akan peka lagi. Kita akan menganggap bahwa dosa adalah hal biasa dan lupa bagaimana melakukan kebenaran. Namun, Tuhan itu baik dan ia bisa berbicara lewat apa saja. Saya memiliki keinginan kembali untuk mengonsumsi oatmeal karena saya mendengar cerita tentang kakak rohani saya yang terlebih dahulu mempraktekkannya. Ia tidak menganjurkan saya untuk harus sama sepertinya dalam mengonsumsi oatmeal, namun ia hanya bercerita ringan tentang kebiasaannya itu. Inilah yang disebut dengan teladan yang mengubahkan seseorang, bahkan seisi bumi untuk kembali ke jalan yang lurus. Teladan tidak hanya berupa kata-kata, anjuran atau nasehat yang harus dilakukan, namun dilihat dari perbuatan nyata seseorang. Sama seperti teladan Kristus yang sudah mati untuk saya di atas kayu salib menebus dosa saya, sehingga hidup saya tidak lagi sia-sia dengan dosa. Dan teladan orang-orang di sekitar kita yang telah mengalami Kristus terlebih dahulu. Satu teladan lebih berharga daripada seribu kata-kata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar